Mencari pekerjaan sebagai fresh graduate S1 Hukum di Indonesia bukan sekadar perjalanan karier, melainkan sebuah petualangan yang penuh kejutan, ironi, dan tawa getir. Dari lamaran yang seolah menggapai bintang hingga wawancara dengan pertanyaan yang tak terduga, mari kita telusuri sisi-sisi lucu di balik perjuangan mencari "loker" ini.
Babak 1: Drama Penyusunan Lamaran, Saat Format dan Realita Bertarung
Perjuangan dimulai dari menyusun surat lamaran kerja. Berdasarkan teori, surat harus profesional, formal, dan mencerminkan kemampuan komunikasi hukum yang baik. Namun, realitanya seringkali berbeda. Betapa seringnya kita tersenyum kecut saat berusaha menulis kalimat seperti “Saya memiliki pemahaman yang kuat mengenai hukum administrasi negara, perundang-undangan, serta prosedur penyusunan kebijakan publik” untuk sebuah posisi entry-level yang nantinya mungkin lebih banyak mengurusi pengecekan faktur atau pengarsipan dokumen. Ironi ini bagai latihan berpura-pura menjadi hakom tingkat tinggi padahal yang dibutuhkan mungkin hanya seorang “penjaga kitab undang-undang” yang teliti.
Tidak jarang kita dibuat bingung dengan dualitas dunia kerja. Di satu sisi, lulusan dituntut menguasai ketrampilan teknis tingkat tinggi seperti legal due diligence untuk pemeriksaan perusahaan atau penyusunan kontrak kompleks. Di sisi lain, pada saat yang sama, di pasar lowongan kita menemui tawaran untuk “Staf Hukum & Paralegal” yang tugasnya ternyata juga mencakup mengelola kebutuhan operasional kantor seperti ATK dan inventaris. Kontras ini membuat kita bertanya, apakah kita melamar sebagai ahli hukum atau sebagai general affairs yang kebetulan paham istilah force majeure?
Babak 2: Ritual Wawancara, Panggung Sandiwara dan Pertanyaan Ajaib
Jika tahap administrasi adalah ujian ketahanan menulis, maka tahap wawancara adalah ujian akting. Tips karir menyarankan untuk menunjukkan attitude seperti inisiatif, percaya diri, dan sikap yang dapat diajar (teachable). Dalam praktiknya, ini diterjemahkan menjadi senyum sempurna, anggukan penuh pemahaman saat interviewer menjelaskan, dan kemampuan untuk menjawab pertanyaan klasik seperti “Apa kelebihan dan kekurangan Anda?” dengan jawaban yang terdengar seperti kekurangan yang justru adalah kelebihan terselubung (contoh: “Saya terlalu perfeksionis dalam bekerja”).
Yang lebih menggelitik adalah momen saat kita dihadapkan pada pertanyaan kasus hukum ringan. Dengan penuh semangat, kita mengeluarkan seluruh teori dari kuliah, menganalisis dengan struktur legal reasoning yang runtut, hanya untuk kemudian disadarkan bahwa jawaban yang dicari seringkali lebih praktis dan berhubungan dengan kepatuhan internal perusahaan atau manajemen risiko sederhana. Saat seperti inilah kita tersadar bahwa dunia kerja lebih menyukai common sense yang aplikatif dibandingkan teori normatif yang idealis.
Terlebih, kita juga diharuskan untuk menguasai pengetahuan spesifik seperti hukum perjanjian, perusahaan, hingga kepailitan. Namun, pertanyaan di wawancara bisa melenceng ke hal-hal yang tidak terduga. Pernah ada kisah di mana pelamar ditanya pendapatnya tentang suatu pasal dalam UU ITE yang baru direvisi, atau diminta menjelaskan konsep legal standing dalam konteks tertentu. Momen-momen seperti ini sering kali menjadi ujian dadakan yang menguji sejauh mana kita update dengan perkembangan hukum, sekaligus menguji ketahanan mental kita di bawah tekanan.
Babak 3: Antara Ekspektasi dan Kenyataan di Dunia Kerja
Ketika akhirnya berhasil mendapat pekerjaan, seringkali kita dihadapkan pada kenyataan yang berbeda dengan bayangan saat melamar. Sebagai fresh graduate, kita mungkin membayangkan akan langsung terlibat dalam penyusunan legal opinion yang rumit atau negosiasi kontrak penting. Namun, kenyataan awal kerap kali lebih “membumi”.
Berikut adalah beberapa perbandingan antara ekspektasi yang dibangun selama kuliah dan realita awal yang sering ditemui:
Selain itu, kita juga dituntut untuk menguasai soft skill seperti komunikasi dan kerja sama tim. Dalam praktiknya, ini berarti kita harus bisa berkomunikasi tidak hanya dengan sesama divisi hukum, tetapi juga dengan divisi lain seperti HRD, finance, atau operasional yang mungkin memiliki persepsi yang sangat berbeda tentang urgensi dan kompleksitas sebuah masalah hukum. Kemampuan untuk menerjemahkan “bahasa hukum” menjadi “bahasa bisnis” yang mudah dipahami adalah seni tersendiri yang jarang diajarkan di bangku kuliah.
Kesimpulan: Tertawa untuk Tetap Waras
Perjalanan mencari dan memulai pekerjaan pertama sebagai sarjana hukum fresh graduate memang penuh dengan lelucon tak terduga. Dari surat lamaran yang terlihat sangat serius untuk posisi yang tugasnya mungkin belum sepenuhnya kita pahami, hingga wawancara yang menjadi ajang pertunjukan kemampuan terbaik kita, semua adalah bagian dari proses pendewasaan.
Meski terasa absurd di beberapa momen, pengalaman-pengalaman lucu inilah yang justru membentuk kita. Kita belajar bahwa ilmu hukum di dunia nyata seringkali tentang detail, prosedur, dan komunikasi yang efektif, bukan sekadar debat teori. Kita juga belajar untuk lebih rendah hati, karena gelar sarjana hukum hanyalah tiket masuk untuk mulai belajar hal-hal yang sesungguhnya.
Jadi, untuk para fresh graduate hukum yang sedang berjuang, tetaplah semangat dan nikmati saja prosesnya. Tertawakanlah kesalahan kecil dalam surat lamaran, anggaplah wawancara yang gagal sebagai latihan, dan sambutlah tugas-tugas administrasi pertama sebagai bagian dari pembelajaran. Bagaimanapun, semua pengalaman ini akan menjadi cerita yang lucu dan berharga di kemudian hari, ketika kita sudah menjadi profesional hukum yang mumpuni. Dan ingat, hampir setiap pengacara senior atau legal counsel yang kamu lihat sekarang, pasti pernah melalui fase-fase konyol yang serupa. Selamat berjuang dan tertawa dalam petualangan mencari “loker”!

Comments
Post a Comment